Lanskap Insurtech di Indonesia: Peluang dan Tantangan
Lanskap Insurtech di Indonesia: Peluang dan Tantangan
Dengan populasi terbesar sekitar 273,5 juta jiwa, Indonesia adalah negara yang memiliki potensi besar bagi pelaku bisnis asuransi, terutama pemain insurtech. Meski demikian, industri asuransi di Indonesia tidak bisa dikatakan dalam kondisi baik maupun buruk.
Pertama, mari kita lihat gambaran keseluruhan mengenai penetrasi pasar, kepadatan, dan nilai pasar asuransi di Indonesia. Dari segi penetrasi asuransi. Meskipun mengalami peningkatan pada semester pertama 2021, dari 2,9% pada 2020 menjadi 3,11%, Indonesia terus stagnan sejak 2017, hanya pada 2 hingga 3% per tahun.
Memang, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang berada pada 1 hingga 3%, tingkat penetrasi tersebut tidak buruk. Namun, jika melihat PDB Indonesia yang mendominasi negara ASEAN lainnya, angka 3% masih tergolong rendah. Ditambah lagi, jika dibandingkan dengan negara G20 lainnya seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia, yang tingkat penetrasi asuransinya 5 hingga 11%.
Perlu dicatat, penetrasi asuransi sendiri adalah rasio jumlah dana di industri asuransi terhadap produk domestik bruto atau PDB. Meskipun tingkat penetrasi asuransi di Indonesia tidak begitu baik, ternyata kepadatan asuransi atau jumlah premi yang dibeli masyarakat dalam setahun di Indonesia terus meningkat.
Sejak 2010, kepadatan asuransi di Indonesia hanya sekitar Rp500.000 per orang. Kini angka kepadatan asuransi di Indonesia mencapai Rp 1,67 juta per orang pada 2019, Rp 1,74 juta per orang pada 2020, dan pada semester kedua 2021, mencapai Rp 1,78 juta per orang.
Di sisi lain, menurut laporan Faber Consulting, Indonesia memiliki nilai pasar asuransi jiwa terbesar ketiga setelah Singapura dan Thailand dengan nilai premi Rp 213 triliun pada 2019. Sedangkan untuk nilai pasar asuransi umum, Indonesia juga berada di posisi ketiga setelah Singapura dan Thailand, yaitu Rp 92 triliun pada 2019.
Melihat nilai pasar asuransi dan peningkatan peluang penetrasi asuransi, Indonesia menjadi tempat terseksi bagi pelaku industri asuransi, terutama insurtech.
Adaptasi Digital selama Pandemi adalah Peluang bagi Insurtech
Tidak seperti layanan keuangan lainnya yang berjaya selama pandemi, ternyata industri asuransi mengalami penurunan. Asuransi jiwa, misalnya, mengalami penurunan total premi tahunan hingga 6,1%.
Bahkan, menurut laporan, terjadi penurunan jumlah perusahaan asuransi dari 2019 ke 2020, yaitu sebanyak 12 perusahaan. Salah satu alasan mengapa industri asuransi di Indonesia mengalami penurunan adalah karena penurunan daya beli masyarakat selama pandemi, yang mempengaruhi daya beli premi asuransi.
Namun, kontraksi ini tidak berlangsung lama. Pada kuartal 3 2020, kinerja asuransi jiwa mengalami pertumbuhan positif hingga 2,5% dan naik signifikan pada kuartal 4 hingga hampir 100%, dari Rp50,56 triliun menjadi Rp91,86 triliun. Alasan tren peningkatan ini tidak lain adalah meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan dana darurat saat sakit. Masyarakat mulai menyadari bahwa kondisi sulit pandemi dapat berdampak besar pada keuangan mereka. Terutama dalam hal kesehatan mental dan keselamatan.
Alasan kedua adalah masyarakat Indonesia mulai beradaptasi dengan layanan digital. Misalnya, maraknya tren embedded finance, seperti aplikasi investasi ritel hingga aplikasi pinjaman online, mulai banyak digunakan masyarakat ketika mereka mulai bekerja dari rumah.
Nah, selain itu, Indonesia adalah negara terbesar ketiga di Asia yang memiliki pengguna internet, sekitar 212 juta orang. Hampir 90% masyarakat Indonesia menggunakan internet. Jadi tidak mengherankan jika Indonesia adalah negara yang beradaptasi paling cepat terhadap pergeseran dari budaya konvensional ke digital.
Tantangan Utama Pemain Insurtech di Indonesia
Meskipun didukung oleh ekosistem digital masyarakat Indonesia, bukan berarti pelaku insurtech berjalan tanpa tantangan. Sejak awal, tantangan bagi pelaku asuransi di Indonesia adalah mereka sering dianggap parasit, melakukan panggilan di waktu yang salah, dianggap pemerasan, berbahaya, dan stigma negatif lainnya.
Ini menunjukkan bahwa literasi keuangan, atau seperti yang dinyatakan OJK, bahwa literasi asuransi di Indonesia masih relatif rendah. Jika dibandingkan dengan literasi keuangan pada 2019 secara keseluruhan yang mencapai 38%, literasi asuransi di Indonesia masih sangat minim yaitu 15,8% pada tahun yang sama.
Tantangan lainnya adalah bagaimana pelaku insurtech dapat menjangkau potensi asuransi yang belum tersentuh. Misalnya, pengguna asuransi mikro atau pelaku usaha mikro dan kecil. Di sisi lain, masalah utama yang sering dihadapi oleh pelaku bisnis asuransi, terutama pemain insurtech, terkait dengan underwriting atau analisis risiko calon nasabah.
Jadi, bagaimana menjawab tantangan ini?
1. Merespons Tantangan Ekosistem Asuransi
Sama seperti perusahaan fintech lainnya, insurtech harus berinovasi, terutama tentang bagaimana produk mereka dapat disampaikan dengan baik kepada konsumen. Salah satunya adalah dengan menjangkau konsumen asuransi dengan edukasi pasar asuransi mereka.
Salah satunya didasarkan pada bagaimana iklim investasi ritel di Indonesia mulai memberikan informasi dan edukasi yang mudah diakses tentang pasar saham itu sendiri. Hal yang sama dapat dilakukan di pasar asuransi.
Dalam langkah awal atau bahkan secara berkelanjutan, edukasi pasar asuransi penting. Misalnya, memberikan konten edukasi terkait asuransi, risiko, dan manfaatnya melalui platform digital seperti platform media sosial termasuk Instagram, TikTok, YouTube, atau forum online seperti Telegram atau Clubhouse.
Banyak pelaku insurtech telah mempekerjakan Key Opinion Leaders untuk meningkatkan brand mereka sebagai perusahaan asuransi kepada konsumen.
2. Membangun Kepercayaan Konsumen
Yang kedua adalah membangun kepercayaan pada konsumen. Pelaku asuransi sering dianggap sebagai parasit, yang cukup mengganggu. Skeptisisme terhadap praktik penipuan, kecurangan, atau wanprestasi juga melekat pada pelaku asuransi.
Menurut Direktur Pengawasan Asuransi OJK, Supriyono, pelaku asuransi dituntut untuk menerapkan tata kelola perusahaan yang baik untuk membangun kepercayaan masyarakat. Pertanyaannya adalah apakah para pelaku insurtech ini dapat mengelola perusahaan mereka dengan baik. Ini termasuk keamanan data atau keamanan tata kelola keuangan.
3. Berkolaborasi
Ketiga, berkolaborasi dengan pemangku kepentingan dan perusahaan lain yang dapat menjangkau konsumen level bawah, dalam hal ini pengguna asuransi mikro.
Beberapa pelaku insurtech di Indonesia saat ini mapan karena inovasi dan kolaborasi. Salah satunya adalah PasarPolis, yang berkolaborasi dengan platform transportasi online GOJEK, dan memberikan layanan asuransi kepada pengemudi GOJEK.
Tidak berhenti di situ, PasarPolis juga berkolaborasi dengan marketplace e-commerce untuk memberikan layanan asuransi saat pengiriman barang. Selain itu ada Qoala, insurtech yang berkolaborasi dengan OYO Hotels dan PT Simas Insurtech untuk memberikan perlindungan asuransi kepada pelanggan yang memesan kamar di penginapan yang disediakan OYO.
Ada juga Wowpremi yang berkolaborasi dengan perusahaan payment gateway yang terhubung dengan 21 bank untuk menyederhanakan proses pembayaran premi.
4. Membangun Pengalaman Konsumen melalui Embedded Insurance
Yang keempat adalah membangun pengalaman dengan embedded insurance, mulai dari pengajuan klaim, proses pembayaran premi, dan ketersediaan informasi produk asuransi, hingga keamanan. Embedded insurance sendiri adalah kemudahan integrasi layanan asuransi bagi konsumen. Hal ini juga dilakukan untuk memberikan nilai seumur hidup konsumen dan upaya retensi konsumen.
Misalnya, yang dilakukan oleh Futuready. Perusahaan insurtech ini menyediakan proses klaim yang mudah dalam waktu 48 jam atau Wowpremi yang menjamin kemudahan dalam pembayaran premi. Selain itu, ada 9Lives yang memiliki fitur asuransi selfie yang secara khusus melindungi wajah jika terjadi kecelakaan.
Mengoptimalkan Proses Underwriting dengan AI
Tantangan bagi pelaku insurtech tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam. Salah satunya adalah saat melakukan proses underwriting atau identifikasi risiko.
Proses underwriting yang tidak memadai biasanya menciptakan risiko yang akan merugikan perusahaan seperti penipuan klaim atau klaim palsu dari pelanggan. Dalam beberapa kasus, pelanggan curang ini bahkan melakukannya secara terorganisir.
Contohnya adalah kasus di Amerika Serikat, di mana setiap tahun ada 20 klaim dari pemilik rumah yang diasuransikan dan 10% di antaranya adalah klaim palsu. Salah satu cara untuk mengatasi penipuan dalam proses klaim adalah dengan menerapkan teknologi AI atau Artificial Intelligence.
Dengan AI, perusahaan insurtech dapat mengidentifikasi risiko yang dimiliki oleh pelanggan. Misalnya, proses identifikasi dan estimasi biaya kerusakan akibat kecelakaan, data riwayat medis, atau hal-hal yang paling mendasar, seperti proses verifikasi data dan input informasi dari calon pelanggan. Salah satu yang telah melakukannya di Indonesia adalah Qoala. Dalam praktiknya, Qoala menggunakan Artificial Intelligence untuk mengidentifikasi dan memverifikasi data calon pelanggannya. Jadi, jika pelanggan berisiko, perusahaan berhak menolak permintaan pelanggan.
Di Indonesia, salah satu enabler teknologi bagi pemain insurtech adalah Brick, yang merupakan penyedia layanan API terbuka. Untuk meningkatkan ekosistem teknologi asuransi, Brick dapat membantu pemain fintech, terutama dalam membantu proses identifikasi risiko menggunakan kecerdasan buatan.
Kini, pertanyaan utama yang tersisa adalah, sejauh mana perusahaan Anda siap untuk beradaptasi dan memaksimalkan potensi iklim industri asuransi yang menjanjikan di Indonesia?